BAB
IV
PANCASILA
SEBAGAI ETIKA POLITIK
A. Pengantar
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
pada hakikatnya merupakan nilai, sumber dari segala penjabaran norma. Dalam
filsafat Pancasila terkandung suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis,
mendasar, rasional, sistematis, dan komperhensif. Sebagai suatu nilai, Pancasila
memberi dasar yang bersifat fundamental dan universal. Norma tersebut meliputi:
- Norma moralyaitu berkaitan dengan
tingkah laku manusia.
- Norma hukum yaitu suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Atas
dasar pengertian inilah nilai-nilai Pancasila sebenarnya berasal dari bangsa
Indonesia sendiri atau Indonesia sebagai asal mula materi (kausa materialis)
nilai-nilai Pancasila.
Pengertian Etika
Etika masuk pada kelompok filsafat
praktis yang dibagi menjadi 2, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan
moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa
mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana untuk mengambil sikap yang
bertanggung jawab terhadap ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip
yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas
prinsip-prinsip dalam hubungannya diberbagai aspek kehidupan (Suseno, 1987).
Etika khusus dibagi menjadi 2, yaitu:
- Etika individual yang membahas kewajiban
manusia terhadap diri sendiri.
- Etika social membahas tentang kewajiban
manusia terhadap lingkungan masyarakat.
Sebenarnya
etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam
hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).
B.
Pengertian
Nilai, Norma, dan Moral
1.
Pengertian
Nilai
Istilah nilai dalam bidang filsafat
dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan (worth)
atau kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan
tertentu dalam menilai/melakukan penilaian (Frankena, 229)
Dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa
nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Jadi, nilai pada hakikatnya adalah sifat/kualitas yang melekat pada
suatu objek, bukan objek itu sendiri. Ada nilai itu karena adanya kenyataan
lain sebagai pembawa nilai (wartager). Berbicara tentang nilai
berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das
Sein, yang artinya bahwa das Sollen harus menjelma menjadi das
Sein, yang ideal harus menjadi real, yang bermakna normatif harus
direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari (Kodhi, 1989:21).
2.
Hirearki
Nilai
Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai
yang ada tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Menurut tinggi rendahnya,
nilai dapat dikelompokkan dalam 4 tingkatan, yaitu:
- Nilai-nilai
kenikmatan; terdpat deretan nilai-nilai yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan (die Wertreihe des Angenehmen und Ungangehmen)
- Nilai-nilai kehidupan; terdapat
nilai-nilai yang penting dalam kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens)
- Nilai-nilai kejiwaan; terdapat
nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali
tidak bergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
- Nilai-nilai
kerohanian; terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci (wermodalitat
des Heiligen ung Unheiligen).
Walter
G. Everet menggolongkan nilai manusiawi ke dalam 8 kelompok, yaitu:
- Nilai-nilai ekonomis
- Nilai-nilai kejasmanian
- Nilai-nilai hiburan
- Nilai-nilai sosial
- Nilai-nilai watak
- Nilai-nilai estetis
- Nilai-nilai intelektual
- Nilai-nilai
keagamaan
Notonegoro
membagi nilai menjadi 3 macam, yaitu:
- Nilai
material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani & ragawi
manusia.
- Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi mnausia untuk dapat mengadakan kegiatan/aktivitas
- Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi rohani manusia. Rohani ini dapat dibagi menjadi 4 macam,
yaitu:
- Nilai kebenaran yang berasal dari akal
- ilai keindahan/nilai estetis yang
berasal dari unsur perasaan
- Nilai kebaikan/nilai moral yang berasal
pada unsur kehendak
- Nilai religious yang berasal dari
kepercayaan/keyakinan manusia.
Menurut
N. Rescher, pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai (trager), hakikat
keuntungan yang diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan
yang diperoleh.
Nilai Dasar, Nilai
Instrumental, dan Nilai Praksis
a.
Nilai
Dasar
Nilai dasar bersifat universal karena
menyangkut hakikat kenyataan ojektif segala sesuatu.
b.
Nilai
Instrumental
Nilai instrumental merupakan suatu
pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan.
c.
Nilai
Praksis
Nilai praksis merupaka suatu sistem yang
perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut. Nilai ini merupakan
penjabaran dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata.
3.
Hubungan
Nilai, Norma, dan Moral
Nilai bersifat subjektif dan objektif.
Bersifat subjektif apabila nilai tersebut diberikan oleh subjek (dalam hal ini
manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif apabila nilai
tersebut melekat pada sesuatu (terlepas dari penilaian manusia). Wujud dari
sutau nilai adalah norma. Moral merupakan suatu ajaran bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak dengan sebaik-baiknya. Istilah moral mengandung integritas
dan martabat pribadi manusia sehingga derajat manusia tersebut ditentukan oleh
moralitas yang dimilikinya.
C.
Etika
Politik
Etika politik berkaitan dengan moral
manusia. Hal ini berdasarkan pada kenyataan moral selalu menunjuk pada manusia
sebagai subjek etika. Walaupun hubungannya dengan masyarakat bangsa atau
negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai
manusia.
Hal ini didasarkan pada hakikat manusia
sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Aktualisasi etika politik
senantiasa berdasarkan pada harkat dan martabat manusia sebagai manusia
(Suseno, 1987:15).
1.
Pengertian
Politik
Politik berasal dari kata “Politics”
yang bermakna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara
yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan. Untuk melaksanakan
kebijaksanaan diperlukan suatu kekuasaan (power) dan kewenangan (authority).
2.
Dimensi
Politis Manusia
a.
Manusia
sebagai Makhluk Individu-Sosial
Dasar filosofis dalam Pancasila
mendasarkan hakikat kodrat manusia adalah bersifat “monodualis”, yaitu
sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Hal ini dikarenakan manusia
tidak bisa hidup mandiri, selalu bergantung pada orang lain.
b.
Dimensi
Politis Kehidupan Manusia
Dimensi politis kehidupan manusia
mempunyai 2 segi fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak.
Penataan efektif masyarakat adalah penataan
yang de fakto, yaitu penataan yang berdasarkan kenyataan menentukan
kelakuan masyarakat. Maka dari itu, etika politik berkaitan dengan objek forma
etika, yaitu tinjauan berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika, terhadap objek
material politik yang meliputi legitimasi negara, hukum, kekuatan, serta
penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.
3.
Nilai-nilai
Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
- Sila 1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
berkaitan dengan legitimasi moral.
- Sila 2 “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab”, merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Negara
pada prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa.
- Sila 3 “Persatuan Indonesia”, bangsa
Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam
suatu wilayah tertentu dengan suatu cita-cita dan prinsip hidup demi
kesejahteraan bersama.
- Sila 4 “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”, negara adalah berasal
dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa
untuk rakyat.
- Sila 5 “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”, Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu,
keadilan dan hidup bersama merupakan tujuan dalam kehidupan negara.
NB: Ringkasan Pancasila dari buku Pendidikan Pancasila; Prof. Dr. Kaelan, M.S.